Search
Search
Close this search box.

Kebijakan EPR Negara Berkembang Di Asia Saat Ini – “Melalui Kebijakan EPR Dengan Kesadaran Internasional”

EPR sebagai pendekatan kebijakan yang fleksibel

Dalam melakasanakan EPR secara efektif, para pemegang kebijakan harus mendefinisikan dengan jelas permasalahan apa yang ingin diselesaikan dan bagaimana gambaran penerapan konsep EPR itu sendiri agar dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Tanpa analisis yang tepat, kebijakan EPR tidak akan dapat berkontribusi secara efektif. Untuk itu, pemegang kebijakan perlu untuk menyusun suatu kebijakan dan perangkat peraturan yang sesuai dengan kondisi negara masing-masing, secara rinci dapat menjelaskan tanggung jawab semua pelaku utama dan menyediakan insentif yang tepat atas kepatuhan terhadap kebijakan yang ditentukan.

Hal-hal yang menjadi pertimbangan saat merencanakan penerapan kebijakan EPR:

  • Apakah skema EPR fokus hanya pada daur ulang diakhir penggunaan produk ataukah cakupannya menjadi lebih luas hingga ke rantai perjalanan produk yang ramah lingkungan?
  • Agar skema EPR lebih efektif, tanggung jawab seperti apa yang diharuskan kepada para pelaku (diluar produsen) seperti konsumen, pemerintah lokal, perusahaan penanganan limbah yang dapat mendukung produsen?
  • Tanggung jawab apa saja yang dibutuhkan dari produsen (contohnya tanggung jawab keuangan dan penanganan langsung diakhir penggunaan produk, menyediakan informasi yang tepat dan lengkap kepada konsumen dan pihak yang menangani produk)?
  • Apakah skema EPR berdasarkan kesadaran sukarela serta kesepakatan pemerintah dan industri ataukah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan?
  • Siapakah pihak yang harus melaksanakan EPR, produsen, pemilik merk dagang, pabrik ataukah importir? Dalam kasus pengemasan, siapa yang harus bertanggung jawab, apakah produsen bahan kemasan ataukah pabrik pengemas produk?
  • Apakah skema EPR didasarkan kepada tanggung jawab individual masing-masing produsen ataukah ada pembagian tanggung jawab bersama antar perusahaan untuk memenuhi kebijakan yang ada?
  • Bagaimana mekanisme pendanaannya? Siapa yang harus membayar, pada tahap mana pembayaran harus dilakukan, siapa yang mengumpulkan pembayaran, prinsip seperti apa untuk menentukan jumlah yang harus dibayar dan bagaimana pengalokasian dan penggunaan biaya yang sudah terkumpul?

Para pembuat kebijakan pasti memiliki alasan yang berbeda-beda dalam penerapan EPR dan sangat perlu untuk menentukan secara khusus bentuk skema EPR seperti apa yang bisa memenuhi kebutuhan masing-masing negara. Sebagai contoh, umumnya tujuan dari skema EPR adalah untuk mengurangi biaya pengelolaan sampah kota. Hal ini dapat dicapai dengan penerapan pembagian tanggung jawab pendanaan produsen untuk penanganan limbah diakhir penggunaan produk. Untuk menentukan insentif bagi produsen dalam merancang ulang produk agar lebih mudah untuk didaur ulang, sistem yang paling baik diterapkan adalah dengan sistem take-back produk oleh masing-masing produsen.

Agar EPR dapat berjalan dengan baik, harus disadari benar bahwa akan ada pihak yang menyadari perlunya insentif dan ada yang tidak. Pembuat kebijakan harus dapat mengantisipasi agar para pelaku bisnis ataupun pihak terkait tidak akan lepas dari tanggung jawab mereka. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam penerapannya, selalu dibutuhkan evaluasi secara rutin agar dapat melihat kelemahan sistem EPR yang ada untuk dapat mengambil langkah perbaikan yang seharusnya. Diantaranya adalah perbaikan sistem pendanaan. Sebagai contoh dalam pengumpulan limbah dari rumah tangga, akan lebih efisien dalam pelaksanaan dan pendanaan bila dilakukan secara kolektif. Contoh kebijakan lain adalah seperti produsen diperbolehkan untuk memasukkan biaya daur ulang pada harga produk sehingga konsumen ikut menanggung biaya tersebut karena bisa saja produsen belum mampu untuk mengurangi biaya daur ulang melalui rancang ulang produk dengan innovasi proses daur ulang itu sendiri.

Implementasi EPR yang efektif harus dapat mengkoordinasikan kebijakan antara tanggung jawab produsen dengan standar kebijakan lingkungan yang ditetapkan pemerintah. Tentunya produsen akan mengusahakan agar dapat memenuhi standar penanganan lingkungan dengan biaya yang dikeluarkan seminimal mungkin. Untuk itu diperlukan aturan yang rinci dari pemerintah agar hal ini dapat tercapai dan tujuan semua pihak dapat terpenuhi.

Dalam tahap pengumpulan limbah produk, aturan yang jelas juga sangat diperlukan. Pada beberapa skema EPR, produsen diminta untuk ikut bertanggung jawab pada tahap pengumpulan limbah langsung dari rumah tangga.  Pada umumnya, produsen belum terbiasa dengan sistem seperti ini dan pastinya akan menambah pembiayaan. Untuk mengatasi hal ini, beberapa metode dapat dilakukan diantaranya menggunakan sistem pengumpulan yang sudah ada atau membayar pihak pengelola tertentu, menunjuk pihak tertentu untuk mengumpulkan sampah yang ada untuk dikumpulkan pada lokasi yang sudah ditentukan. Selain itu juga dapat  memberlakukan sistem take-back dengan melibatkan para penjual sebagai tempat yang menerima limbah dan menggantinya dengan produk baru ditambah biaya yang seharusnya dibayarkan.

Implementasi EPR di negara-negara berkembang di Asia

Berbeda dengan penerapan EPR di negara Uni Eropa, beberapa hal sangat perlu untuk disiapkan sebelum penerapan konsep EPR di Asia. Kondisi yang ada di negara berkembang menjadi pertimbangannya antara lain pembangunan infrastruktur daur ulang yang ramah lingkungan masih sangat minim, kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya pemilahan masih kurang, lembaga dan pengetahuan teknis daur ulang masih kurang dan sistem pengumpulan dan pengangkutan yang ada pun juga masih belum dinilai baik. Untuk menyelesaikan ini semua, sangat diperlukan dukungan pendanaan dari pemerintah agar dapat menerapkan sistem EPR yang diharapkan.

Dalam mencapai EPR yang efektif juga diperlukan kejelasan produsen dari masing-masing produk. Tidak sedikit produk yang tidak memiliki data dan informasi mengenai produsen penghasilnya sehingga tanggung jawab penanganannya dikembalikan kepada pemerintah lokal yang pada akhirnya dibebankan kembali pada produsen besar melalui pajak.

Melihat kondisi di atas, bukan berarti EPR tidak mungkin untuk diterapkan di negara berkembang Asia. Justru hal-hal tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menyusun konsep EPR yang sesuai dengan kondisi negara masing-masing. Pemantauan dan evaluasi menjadi hal yang sangat diperlukan untuk menilai kelemahan dan menentukan perbaikan sistem EPR yang dijalankan pada suatu negara.

EPR dan perdagangan internasional

Beberapa puluh tahun terakhir, negara-negara maju umumnya mengirimkan limbah dan bahan daur ulang mereka ke negara berkembang di Asia. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan biaya yang lebih murah, regulasi lingkungan yang memungkinkan untuk menerima limbah tersebut sehingga kondisi ini menciptakan sistem perdagangan tersendiri.

Penerapan EPR di negara maju membuat sistem pemilahan limbah meningkat dan produk bekas pakai semakin banyak tersedia sedangkan dengan standar yang semakin ketat, biaya yang dibutuhkan untuk daur ulang pun semakin tinggi. Akibatnya perusahaan memutuskan untuk menyediakan insentif penanganan limbah ini dengan cara mengirim limbah ke negara berkembang di Asia.

Hal ini berdampak meningkatnya pencemaran limbah berbahaya di negara berkembang dan juga berdampak pada industri daur ulang di negara maju sendiri karena kekurangan bahan baku.

Untuk itu beberapa mekanisme dinilai efektif dalam penerapan EPR di masing-masing negara, diantaranya:

  • Penguatan struktur pemerintahan di negara berkembang dan pembangunan infrastruktur yang tepat untuk penanganan produk diakhir penggunaannya
  • Mekanisme yang ditujukan untuk mengurangi pengiriman limbah produk ke negara lain dirangkum dalam kebijakan EPR
  • Penambahan tanggung jawab produsen agar turut menangani produk ekspor

Kerjasama internasional untuk memperkuat penerapan EPR

Berdasarkan analisis sebelumnya, dapat dilihat bahwa dalam penerapan EPR tidak hanya dibutuhkan kebijakan dan infrastruktur yang memadai. Kebutuhan akan pemahaman, informasi, pelatihan terkait EPR juga merupakan faktor utama penentu keberhasilan pelaksanaan. Adanya transfer teknologi dan peningkatan kapasitas dari negara-negara yang telah lebih dulu menerapkan EPR sangat membantu negara berkembang agar lebih siap dalam pelaksanaan EPR di negara masing-masing.

Tidak ada skema EPR yang benar dan salah. Yang ada hanyalah penyesuaian pendekatan yang berbeda untuk masing-masing negara sesuai dengan kondisi yang ada. Untuk semakin memperkuat hal ini, diperlukan kerjasama internasional dalam meningkatkan implementasi EPR yang lebih efektif.