Judul Asli : Food Waste As A Global Issue – From the Perspective of Municipal Solid Waste Management
Penerbit : ISWA
Tahun : 2013
Tebal : 30 halaman
Setiap manusia pasti menghasilkan sampah, tak terkecuali sampah makanan. Seiring bertambahnya penduduk dunia, sampah makanan pun meningkat sedangkan sebaliknya, ketersediaannya semakin terbatas.
Kata sampah makanan atau “food waste” mengacu pada sampah makanan yang awalnya berasal dari bagian makanan yang memang ditujukan untuk dikonsumsi dan juga yang bukan (seperti kulit, akar dan biji), dan berasal dari perumahan, fasilitas komersil seperti restoran, kantin, kafe atau lainnya.
Titik tolak diangkatnya sampah makanan sebagai isu global adalah timbulnya keprihatinan dan kekhawatiran akan ketidakseimbangan pada level produksi dan konsumsi makanan. Di satu sisi, masih banyak sebagian dari kita yang kekurangan makanan namun ironisnya di sisi lain juga banyak sebagian dari kita yang berkelimpahan makanan sehingga terbuang sia-sia.
Beberapa data yang berhasil dihimpun pada tahun 2006-2011 cukup mencengangkan dimana data menunjukkan terdapat sekitar 1,32 milyar ton sampah makanan terbuang setiap tahunnya, namun sekitar 13% dari total populasi dunia yang kekurangan bahan makanan maupun kekurangan makanan untuk memenuhi standard pola hidup sehat. Khusus di Eropa, sepanjang tahun 2006, hasil penelitian menunjukkan setiap orang memproduksi sampah makanan sebanyak 179 kg. Ditambah lagi di Inggris, pada tahun 2008 50% sampah makanan dihasilkan pada level rumah tangga, dimana lebih dari separuh seharusnya masih bisa digunakan. Bayangkan!
Sekarang pertanyaannya adalah, benarkah sampah makanan begitu mengkhawatirkan, terutama di negara berkembang, sehingga layak untuk menjadi isu global?
Sampah makanan berpotensi menjadi kompos yang dapat menyuburkan tanaman. Sampah makanan juga berpotensi menghasilkan bahan bakar terbarukan, sebagai pengganti minyak bumi yang pada saat ini ketersediaannya sudah pada ambang kritis. Namun karena karakter sampah makanan yang dapat dengan mudah terdegradasi secara alami, maka sampah makanan ini akan sulit dimanfaatkan jika sejak di sumber sudah bercampur dengan sampah lainnya. Terlebih kualitas keamanannya pun sudah tidak bisa dijamin lagi karena mungkin sudah terkontaminasi dan berpotensi sebagai berkembangnya vector penyakit.
Kalau sampah sudah bercampur, penggunaan insinerator dalam mengelola sampah tersebut juga tidak lagi efektif karena sifat sampah makanan yang relatif basah. Hal ini dapat mengakibatkan turunnya efisiensi pembakaran dan efisiensi produksi energi pada insinerator sehingga energi yang diperlukan selama proses berjalan lebih besar, namun energi yang dihasilkan lebih kecil. Deskripsi diatas juga menerangkan beberapa dasar mengapa pemilahan sampah pada sumber, terutama pemilahan sampah makanan, dinilai sebagai kunci utama dalam pengelolaan sampah yang berkesinambungan.
Biaya operasional skema pemilahan sampah memang bervariasi, tergantung dari jumlah titik pengumpulan, frekuensi pengambilan, jumlah penduduk yang dilayani dan rata-rata pendapatan tenaga kerja setempat. Umumnya skema pemilahan sampah makanan ini bisa sukses jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
- menggunakan tempat sampah yang mudah digunakan dan cocok untuk sampah makanan
- cukup flexibel untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beragam
- benda pendukungnya mudah didapat dan selalu tersedia
- memiliki instruksi yang jelas untuk ikut ke dalam skema pengumpulan sampah yang berlaku
Di banyak negara berkembang misalnya, pemilahan sampah pada sumbernya bukanlah hal yang mudah ditemui. Umumnnya negara berkembang masih mempraktekkan sistem kumpul-angkut-buang sampah yang sudah bercampur tadi ke Tempat Pengelolaan Akhir (TPA). Akibatnya, potensi terbentuknya air lindi dan gas methan sebagai penyebab utama efek rumah kaca dari sektor persampahan meningkat.
Beberapa negara maju sudah pernah menjalankan program inistatif yang bertemakan pencegahan terjadinya sampah maupun program “penyelamatan” sampah makanan. Dari beberapa program yang sudah dijalankan terbukti bahwa hasilnya akan lebih optimal, baik pada level produsen, penyalur, maupun konsumen, jika program tersebut melibatan unsur manfaat ekonomi atau sisi economic benefit. Pada level masyarakat program semacam ini sering terkendala kurangnya pemberian pemahaman pada level pengguna, dan faktor tenaga dan waktu yang dianggap harus dikeluarkan lebih dari yang seharusnya.
Selain melalui program pengurangan sampah, beberapa negara maju juga sudah mengeluarkan peraturan/kebijakan terkait sampah makanan, melalui tindakan tegas dan serentak seperti menutup semua TPA, mengharuskan memilah sampah bagi warga, serta menetapkan target pengomposan dan daur ulang pada level nasional. Tentunya semua memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun yang terpenting adalah setiap kebijakan hendaknya memiliki daya tarik dan melibatkan peran aktif dari masyarakat. Dua hal tersebut akan sangat mempengaruhi dampak dari kebijakan yang diberlakukan. Jumlah dan proporsi masyarakat yang ikut andil pun akan sangat dipengaruhi oleh budaya, seperti bagaimana kebiasaan masyarkat memasak, seberapa sering mereka menghabiskan waktu untuk makan di luar rumah, dan komitmen masyarakat untuk ikut berperan serta dalam proses daur ulang dan mengompos.
Dalam kondisi sampah yang sudah bercampur, pengolahan sampah makanan masih dapat dilakukan. Tentunya kualitas produk yang dihasilkan dari sampah yang awalnya sudah bercampur akan berbeda dengan yang memang sudah sejak dari awal dipisahkan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, pengolahan sampah makanan dapat mengintegarasikan pengomposan dengan anareobic digestion. Perpaduan yang melibatkan tahap persiapan, pengomposan dan anareobic digestion ini menghasilkan energi (biogas) dan produk (kompos) yang optimal, menghemat konsumsi energi dari subtitusi energi yang diproduksi, biaya yang lebih rendah untuk penanganan bau, kualitas sanitasi yang baik karena melalui 2 proses yang melibatkan suhu tinggi, dan tentunya mengurangi dampak perubahan iklim dengan menghindari pemakaian bahan bakar minyak dan pupuk kimia.
Berbagai scenario pengendalian sampah makanan pun dilakukan dari mulai penanggalan tanggal kadal luarsa dan penganggalan tanggal pembelian, penomoran produk, dan pemberian label-label dengan maksud tertentu. Pada kenyataannya, banyak sampah makanan yang dibuang sebelum digunakan. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa banyak dari kita, terutama sebagai masyarakat perkotaan dan sebagai konsumen, membeli makanan dalam jumlah banyak dengan maksud ingin mengolahnya dirumah, namun pada praktek sebenarnya lebih sering makan di restoran bersama teman maupun rekan kerjanya, atau juga karena keterbatasana waktu.
Begitu juga dari sisi produsen, sudah banyak produsen yang meluncurkan berbagai antisipasi seperti pembubuhan informasi lengkap pada label produk sehingga konsumen bisa tahu apakah produk tersebut memang benar dibutuhkan. Selain itu produsen juga mengeluarkan berbagai jenis ukuran kemasan menyesuaikan dengan kebutuhan konsumen.
Opsi pembelian makanan dalam jumlah kecil memang ditujukan untuk meminimalkan kemungkinan makanan tersebut menjadi sampah karena sisa atau basi. Namun disisi lain pembelian makanan dalam kemasan-kemasan kecil justru akan meningkatkan jumlah sampah kemasan. Karena itu pesan dari sampah makanan sebagai isu global bagi kita semua adalah untuk berlaku bijak untuk semua makanan yang kita beli, yang kita bawa pulang ke rumah dan juga yang kita tinggalkan untuk teman atau kerabat sebagai pemberian/hadiah. Sudah selayaknya yang diberikan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan.
Pada intinya baik secara teknologi, pendekatan program dan juga melalui kebijakan/peraturan terkait pengelolaan dan pengolahan sampah makananan, diperlukan adanya integrasi dari berbagai pihak seperti produsen, konsumen dan juga legislator selaku pembuat keputusan. Selain itu adanya system penerapan integrasi beberapa teknologi juga memungkinkan pencapaian hasil yang lebih optimal dibandingan dengan penerapan sitem teknologi tunggal, seperti halnya integrasi pada composting dan anaerobic digestion [OC].