Search
Search
Close this search box.

Sampah Dan Perubahan Iklim: Tren Global Dan Strategi Kerangka Kerja

waste-and-climate-change
Judul Asli     : Waste and Climate Change: Global Trends and Strategy Framework
Penerbit       : UNEP
Tahun           : 2010
Tebal            :  79 halaman

Ternyata masih banyak masyarakat di negara berkembang yang belum mengerti keterkaitan antara isu perubahan iklim dan sampah. Padahal data IPCC tahun 2005 menunjukkan bahwa 3% dari emisi gas rumah kaca secara global berasal dari sektor sampah dimana 90% diantaranya terdiri dair gas methan pada Tempat Penampungan Akhir (TPA) sampah atau dumpsite dan air lindi. Pada kondisi ideal, perubahan iklim terkait pengelolaan sampah mengajak kita untuk mengurangi faktor emisi dari pemakaian TPA, mengurangi pemakaian bahan baku pada industri, meningkatkan kegiatan daur-ulang, substitusi pemakaian energi tak terbarukan menjadi energi yang terbarukan, pembentukan unsur Carbon (C) yang lebih stabil melalui aplikasi kompos pada tanah dan juga sebagai pengikatan unsur C dalam tanah. Tentunya kondisi ini dapat dicapai dengan meningkatkan mutu pengelolaan sampah.

Isu terkait perubahan iklim dan sampah sudah banyak dikaji melalui evaluasi pengedalian dampak lingkungan atau Life Cycle Assessmemt (LCA) dan dimuat diberbagai media. Sayangnya pengkajian ini masih terlalu fokus pada negara maju, akibat dari kurang mendukungnya data dan sumber daya di negara berkembang. Sejatinya kajian seperti ini sangat membutuhkan data yang sifatnya lokal, seperti jumlah produksi dan konsumsi, tipe dan jenis pengolahan sampah yang tentunya sangat berbeda dengan yang diaplikasikan di negara maju. Meskipun begitu Bogner et al. (2008) menunjukkan produksi sampah yang dihasilkan baik di negara maju dan berkembang berbanding lurus dengan konsumsi energi perkapita, pendapatan dan konsumsi individu.

Walaupun secara hirarki menghindari sesuatu agar tidak menjadi sampah (waste prevention) adalah yang tertinggi, namun pada kenyataannya hal ini masih belum dijadikan prioritas atau bahkan diabaikan. Contohnya, kegiatan terkait yang dilakukan pada sektor non-formal masih sering tidak dihiraukan, namun sebenarnya memberi dampak yang cukup signifikan pada penurunan emisi khususnya pada kota-kota di negara berkembang.

Pada tahap internasional, sudah banyak badan dan lembaga yang memfokuskan kegiatannya pada isu pengurangan emisi dari sector sampah. Diantaranya melalui pengelolaan sampah terpadu, kebersinambungan proses produksi dan konsumsi, produksi bersih dan juga berbagai projek mekanisme pembangunan bersih (Clean Development Mechanism). Pada pelaksanaannya, kurangnya pendekatan yang kohesif seringkali mengakibatkan program yang dijalankan terhambat masalah duplikasi, dan kesenjangan pemahaman yang dapat menimbulkan konflik dan juga berkurangnya potensi untuk bekerja sama. Untuk itu dibutuhkan badan yang bisa memediasi dan mengkolaborasikan organisasi-organisasi yang sudah ada, yang memastikan tersaringnya informasi relevan dan penggunaan sumber daya yang efektif.

United Nations Environmental Programme (UNEP) adalah salah satu lembaga yang berpayung dibawah Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebagai badan internasional yang mewadahi program lingkungan, UNEP memiliki peran tersendiri dalam hal mengkolaborasikan mitra-mitra yang tersebar diseluruh dunia terkait isu pengelolaan sampah dan perubahan iklim, yaitu dalam hal kepemimpinan dan penguatan sistem kerjasama.

Tren Global Isu Perubahan Iklim dan Sampah

UNEP mengamati beberapa tren global terkait dengan isu  perubahan iklim dan sampah melalui perbandingan emisi yang dihasilkan  dan manfaatnya, dari hulu atau upstream (indirect), selama pengoperasian atau direct (operating) dan hilir atau downstream (indirect). Yang pertama adalah decoupling atau mengkaitkan antara jumlah produksi sampah dan pendapatan per kapita. Di negara berkembang, dua unsur tersebut memperlihatkan korelasi yang sangat kuat, sedang di sebagian negara Eropa, khususnya Jerman, selama tahun 2000-2005 pemerintah terbukti berhasil menekan laju produksi sampah melalui kebijakan khsusus yang dikenal dengan EU waste Directive. Hal ini membuktikan hubungan berbanding lurus tersebut dapat dikendalikan.

Yang kedua adalah emisi global dari TPA dan kualitas data. US EPA mengeluarkan data berupa emisi tahunan yang mewakili sekitar 100 negara. Namun karena masih banyaknya perdebatan metode dan perbedaan pengertian sampah di negara masing-masing, data tersebug masih belum dapat dibandingkan. Terlebih data tersebut juga melibatkan perhitungan emisi dari dekomposisi sampah juga masih memiliki banyak faktor tak tentu (uncertainty).

Yang ketiga terkait dampak perubahan iklim pada praktek pengelolaan sampah. TPA dan teknologi insinerasi dinilai sebagai penghasil emisi terbesar dan terbesar kedua dalam hal praktek pengelolaan sampah. Sisi ironi dari peningkatan praktek TPA di negara berkembang dengan menggunakan sistem layer  atau lapisan dan cover atau penutup adalah bertambah besarnya potensi produksi gas methane atas penguatan kondisi anaerob. Bagaimanapun semakin besar gas methan yang diproduksi dalam maka sebuah proyek penangkapan gas methan pada mekanisme pembangunan berkesinambungan akan semakin bernilai ekonomis.

Lain lagi dengan teknologi insinerasi yang sangat familiar dipakai di negara maju.  Di negara Denmark, Jepand an Luxemburg misalnya, lebih dari 50% sampah yang dihasilkan berakhri di teknologi ini (Bogner et al (2007)). Selain dari bahan bakar yang dihasilkan dari proses insinerasi, logam dan abu pembakaran juga masih bisa dimanfaatkan. Berbeda dengan negara berkembang seperti India, kesuksesan teknologi insinerasi ini sangat terbatas akibat kencangnya kegiatan non-formal pada kegiatan pengelolaan sampah, khususnya barang kering yang bisa didaur ulang. Selain harga investasi yang memulai, kegiatan non-formal ini juga meninggalkan sisa sampah yang sifatnya relatif basah dan tidak cocok untuk teknologi ini.

Selain TPA dan Insinerasi, pengelolaan secara mekanis dan biologis (MBT), pengomposan, anaerobic digestion dan daur ulang juga termasuk dalam pembahasan yang ketiga. Secara teori MBT dapat mengurangi 90% potensi emisi dibandingkan dengan TPA, karena teknologi ini melibatkan daur ulang, pengomposan dan juga anaerobic digestion dimana salah satu hasilnya adalah bahan bakar. Untuk pengomposan dan anaerobic digestion, dibutuhkan penanaman pengetahuan yang mendalam. Hal ini sangat penting karena mempengaruhi kegiatan pemilahan sampah pada sumber, kualitas produk kompos yang dihasilkan dan juga kepuasan pemakai produk kompos tersebut. Selain dari unsur penguatan tanah, manfaat dari hasil pengomposan dan anaerobic digestion juga berupa subtitusi pupuk kimia dan pestisida. Dalam kerangka daur ulang, kebanyakan emisi yang berhasil dikurangi berasal dari pengurangan pemakaian bahan bakar fosil dan substitusi bahan baku.

Beberapa kesimpulan dalam tren global terkait praktek pengelolaan sampah antara lain, potensi produksi emisi sangat bergantung pada kondisi lokal seperti komposisi sampah, penggunaan sumber energi dan asumsi performa teknologinya. Dan yang pasti walaupun fokus yang dibahas adalah mengenai emisi, namun hasilnya tetap akan bersinggungan dengan dampak lainnya seperti ekonomi dan sosial. Kesimpulan secara umum, tren ini tidak dapat dibandingkan secara global karena pada akhirnya tidak akan pernah bisa mengacu pada teknologi yang terbaik. Namun tren ini dapat memberi gambaran, dukungan apa yang bisa diberikan agar pengurangan emisi dan manfaatnya dapat dirasakan secara optimal.

Pengembangan Strategi Kerangka Kerja

Dalam menjalankan perannya sebagai katalis atau mediator penghubung antara aktor-aktor penyelenggara pengurang emisi yang sudah ada, UNEP menggaris bawahi beberapa faktor yang dianggap signifikan mereduksi gap yang ada, diantaranya dalam hal transfer teknologi. Adapun mekanisme yang disusun berupa promosi, penelitian, adaptasi, pelatihan (capacity building) dan pengadaan teknologi yang rendah emisi termasuk perangkat lunak dan keras.

UNEP juga memantau jual-beli emisi yang diatur dalam skema pasar internasional, diantaranya Join Implementation (JI) dan Clean Development Mechanism (CDM). Dalam hal ini UNEP menganalisis gap negara-negara yang ikut dalam skema tersebut. Tanpa gambaran masalah dan kesempatan yang jelas dalam suatu negara, strategi nasional beserta kegiatan aksinya akan sulit untuk dikembangkan dan direalisasi. Dan tanpa stategi nasional dan pendampingan dari dunia internasional maka tidak akan terjadi pemerataan sumber daya, dukungan dan komitmen dari pemerintah dan juga duplikasi. UNEP juga menggarisbawahi tantangan yang terpenting adalah bagaimana mengkonversi masalah menjadi sebuah kesempatan untuk meningkatkan efisiensi sumber daya.

Strategi Kerangka Kerja

Peran UNEP sangat penting dalam mengikat komunitas intenasional yang terlibat persampahan. Strategi umum dalam kerangka kerja terkait isu perubahan iklim dan sampah adalah pengelolaan sampah berkesinambungan, sesuai dengan hirarki pengolahan sampah, dan aksi pengurangan emisi dari sektor sampah. Hal ini demi mencapai tujuan meminimalisasi dampak perubahan iklim dari kegiatan manusia, mempromosikan pengedalian sampah beserta sumber dayanya, dan mendukung segala pengelolaan sampah berkesinambungan. [OC]