Diambil dari : Buku Kata Fakta Jakarta
Penerbit : Rujak Center
Tahun : 2011
Layaknya kota megapolitan yang menghasilkan ribuan ton sampah setiap harinya, Jakarta tak lepas dari permasalahan tumpukan sampah. Bahkan selama periode 2002 – 2007, bukan hanya di Jakarta, terjadi berbagai polemik yang bukan saja mengancam kesehatan dan lingkungan, tetapi juga merambah ke konflik sosial, bahkan jatuhnya korban manusia. Sebut saja kasus kerusuhan di TPST Bojong, rentetan protes atas TPA Bantargebang, dan puncaknya ‘tsunami’ sampah di TPA Leuwigajah Bandung tahun 2005 yang menewaskan sekitar 140 orang.
Setelah menanti cukup lama dan mengalami berbagai polemik sampah yang terjadi, akhirnya di tahun 2008 sektor persampahan di Indonesia mulai mendapat titik cerah dan harapan. Dengan lahirnya Undang-Undang No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah, maka di tingkat nasional sudah ada reformasi kerangka pikir yang menjadi acuan pola pengelolaan sampah di tingkat Pusat, Daerah, hingga Masyarakat. Contoh langsung yang cukup mengikat adalah pasal 44 yang mewajibkan pemerintah daerah menutup Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) yang menggunakan sistem penimbunan terbuka – nyaris 100% TPA di Indonesia adalah penimbunan terbuka – paling lama 5 tahun terhitung sejak berlakunya UU ini. Bagaimana kesiapan perangkat implementasinya, tentunya merupakan tugas lanjutan yang harus segera dituntaskan, jika tidak ingin UU ini menjadi hal yang mubazir.
Di tahun 2008 ini pula, Pemerintah Kota Bekasi dan Pemprov DKI Jakarta menyepakati perpanjangan kontrak penggunaan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang hingga 15 tahun ke depan. Biaya pengolahan (tipping fee) meningkat hampir 100%, yang semula Rp. 52.500,- menjadi Rp. 103.000,- per ton sampah. Meskipun nilai ini masih dibawah standar yang dianjurkan para tim ahli, tidak dipungkiri bahwa ini sudah merupakan kemajuan signifikan mengingat implikasi dana APBD yang harus dikucurkan untuk 6000 ton sampah per hari yang dihasilkan kota ini menjadi jauh lebih tinggi. Dengan tipping fee ini, operasional alat berat, proses pemadatan, pengelolaan lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan biaya operasional lainnya akan mendapat alokasi dana yang cukup memadai. Adapun hasil produksi kompos, energi listrik dari gas methane, dan daur ulang lainnya akan menjadi hak investor untuk menutupi kekurangan tipping fee.
Urusan sampah Jakarta tentu tidak selesai sampai di perpanjangan Bantargebang saja. Saat ini, Bantargebang memang masih menjadi pilihan tunggal yang tidak bisa dihindari. Namun secara bertahap ibu kota negara RI ini harus memiliki ‘WC sampah’ di dalam wilayahnya sendiri, bukan lagi menumpang di rumah tetangga. Meskipun Bantargebang memang sesuai dengan Masterplan Pengelolaan Sampah DKI Jakarta yang disusun tahun 1987, namun perlu disadari bahwa sudah cukup banyak konflik yang muncul akibat ketergantungan Jakarta membuang sampahnya di wilayah lain. Tengoklah kasus TPST Bojong yang sebenarnya tidak termasuk Masterplan DKI, melainkan inisiatif swasta dan Kabupaten Bogor, akhirnya ikut menyeret Jakarta dalam berbagai pemberitaan buruk di media. Atau ruwetnya kasus TPST Ciangir di Kabupaten Tangerang yang meskipun sejak 2009 sudah menjajaki kerjasama dengan Jakarta, hingga saat ini belum terealisasi akibat berbagai kepentingan wilayah masing-masing, termasuk kesepakatan teknologi dan tipping fee.
Dalam action plan Dinas Kebersihan DKI Jakarta, sebenarnya sudah direncanakan 3 lokasi TPST dalam kota atau yang mereka namakan Intermediate Treatment Facility (ITF) yaitu di Cakung, Marunda, dan Sunter. Namun hingga saat ini belum ada satupun yang terealisasi, meskipun proses tender sudah berlangsung sejak 2011.
Peran penting masyarakat yang juga tidak sepele adalah pengurangan sampah di sumber, yang juga merupakan pilar dalam UU 18/2008. Inisiatif pemilahan dan 3R (reduce, reuse, recycle) di tingkat masyarakat saat ini terus berkembang. Aktivitas composting rumah tangga dan pembuatan kerajinan daur ulang sampah semakin luas jangkauannya. Pemerintah Provinsi mencatat tahun 2009 terdapat 94 lokasi 3R tersebar di 1000-an RT ataupun RW di lima wilayah kota. Sayangnya skala keberhasilan berbasis masyarakat ini belum ada yang meluas hingga tingkat kelurahan, apalagi kecamatan. Sehingga ibarat pohon, bonsai sudah banyak, namun belum ada yang bisa menjadi pohon beringin. Kesulitan utama terletak pada perubahan perilaku, kurangnya pendampingan Pemda, pendekatan yang berbasis proyek, ketergantungan pada local champion, dan pola komunikasi. Belum maksimalnya program 3R diperkuat survei Kompas yang menyimpulkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pengurangan sampah masih terhenti pada tataran pengetahuan. Hal ini tidak selamanya negatif, karena jika belum bisa mengolah sampah, partisipasi dapat dilakukan dengan memilah sampah. Jika memilah pun keberatan, maka konsekuensi partisipasi nya adalah membayar iuran sampah lebih tinggi. Tentu saja berbagai pilihan partisipasi ini hanya dapat diterapkan jika sistem pendukung untuk pemilahan hingga ke pemrosesan akhir sudah berjalan.
Bicara sampah di Jakarta tentu tidak bisa lepas dari sampah yang masuk ke 13 sungai yang mengalir di ibukota ini. Kondisinya sangat memprihatinkan. BPLHD Jakarta – melalui program “Stop Nyampah di Kali” – mencatat, di Sungai Ciliwung saja terdapat 109 titik penumpukan sampah. Tidak heran jika kawasan Teluk Jakarta semakin dibanjiri sampah, hingga mencapai Kepulauan Seribu. Akibatnya, selain kesehatan dan lingkungan terancam, pemerintah harus membayar mahal untuk infrastruktur penyaringan sampah maupun pengerukan. Dikabarkan, untuk program mitigasi banjir Jakarta, kebutuhan biaya pengerukan sungai mencapai 150 juta US$ (1.3 trilyun rupiah). Disamping perubahan perilaku, kesulitan utama masalah ini adalah sebagian warga yang membuang sampah ke sungai beralasan wilayah mereka tidak terjangkau oleh layanan pengangkutan sampah oleh Pemda. Setelah adanya UU 18/2008, seharusnya Pemda dapat lebih memotivasi para pengelola kawasan kawasan permukiman, kawasan komersial, fasilitas umum, dan fasilitas lainnya untuk memiliki fasilitas pemilahan (pasal 13). Dengan demikian, sebagian sampah mungkin sudah dapat didaur ulang sehingga yang diangkut oleh Pemda dapat berkurang.
Salah satu strategi penting pengurangan sampah yang diamanatkan oleh UU 18/2008 adalah perpanjangan tanggung jawab produsen atau yang dikenal dengan extended producers responsibility (EPR). Pasal 15 secara tegas mewajibkan semua produsen mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh alam. Diharapkan, akan semakin banyak produsen yang melakukan pengumpulan kembali sampah kemasan produknya yang telah tersebar di masyarakat, men-daur ulang sampah tersebut, atau membuat kemasan produk yang lebih mudah terurai oleh alam. Beberapa produsen seperti Tetrapak, Aqua, dan peritel yang menggunakan kantong plastik ramah lingkungan merupakan contoh yang perlu diapresiasi. Pada tahun 2010, tercatat 23 retail modern di Jakarta telah mengganti kantong plastik konvensional dengan kantong plastik yang lebih mudah terurai oleh alam, meskipun ada penambahan biaya. Komitmen mereka terhadap green product yang terjangkau akan mempermudah masyarakat untuk menjadi lebih ramah lingkungan. Sebab tanpa adanya green product, sulit untuk menjadi green consumer. Di Jakarta, tren green consumer semakin mengalami peningkatan akhir-akhir ini. Bukan hanya dalam pemilihan produk sehari-hari, tapi bahkan sebuah konser musik pun sudah ada yang menggunakan rancangan kostum dengan tema dan bahan daur ulang.