Pemerintah Indonesia, pada akhir tahun 2015 baru saja memperbarui Feed in Tariff untuk energi berbasis sampah kota. Dalam kebijakan baru tersebut, yaitu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 44 Tahun 2015, tarif untuk listrik dari gas metana yang diproduksi di TPA atau anaerobic digestion adalah 16.55 sen USD/kwh. Tarif ini diaplikasikan untuk tegangan menengah dan tinggi, dan kapasitas maksimum 20 MW. Adapun untuk pemanfaatan thermal menggunakan teknologi thermochemical seperti incinerator, tarif nya adalah 18.77 sen USD/kwh, untuk tegangan menengah dan tinggi, dan kapasitas maksimum 20 MW.
Kebijakan ini diharapkan dapat mempercepat investasi di bidang energi terbarukan, sekaligus meningkatkan kualitas pengelolaan sampah kota. Saat ini terdapat 3 TPA di Indonesia yang memiliki kontrak dengan PT. PLN untuk pembelian listrik dari gas metana, yaitu: Bantargebang (Jakarta), Benowo (Surabaya), dan Suwung (Bali). Beberapa TPA di Indonesia sebenarnya sudah mengaplikasikan penangkapan dan pemanfaatan gas TPA. Namun, gas metana tersebut bukanlah dijadikan listrik untuk dijual dan mendapatkan feed in tariff, melainkan langsung digunakan sebagai gas memasak ataupun untuk memenuhi kebutuhan listrik di TPA. Di Indonesia, hampir seluruh TPA dikelola oleh pemerintah kota/kabupaten, dan hanya sedikit yang dikelola swasta.
Beberapa kota telah melakukan kajian dan memproses untuk memiliki fasilitas pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) yang menggunakan teknologi thermal, termasuk Jakarta, Bandung, dan Batam. Aplikasi teknologi thermal ini menghadapi tantangan yang lebih besar ketimbang teknologi penangkapan gas metana TPA. Permasalahan finansial, legal, institusional dan sosial masih menjadi kendala sehingga belum ada fasilitas PLTSa dengan teknologi thermal di Indonesia.
Indonesian Government, at the end of the year 2015 just renewed the Feed in Tariff for municipal solid waste based renewable energy. In this new policy, i.e. Decree of Minister of Energy and Mineral Resources (MoEMR) No. 44 Year 2015, the tariff for electricity from methane gas produced by sanitary landfill or anaerobic digestion is 16.55 cent USD/kwh. This tariff is applied for medium and high voltage grid, and capacity of maximum 20 MW. While for thermal utilization using thermochemical technology such as incinerator, the tariff is 18.77 cent USD/kwh, for medium and high voltage grid, and capacity of maximum 20 MW.
This policy is expected to be able to accelerate investment in renewable energy, while improving the municipal waste management quality. Currently there are 3 landfills in Indonesia that have contract with State Electricity Enterprise for electricity payment from methane gas: Bantargebang, Benowo, and Suwung. Many landfills in Indonesia have actually applied landfill gas capture and utilization facility. However, instead of selling the electricity for feed in tariff, the methane gas is mostly used as cooking gas or for generating electricity for landfill facility purposes. In Indonesia, most of the landfills are managed directly by municipality, and only few are privatized.
Some municipalities have also assessed and proceeded to have waste to energy facility with thermal utilization technology from municipal waste, including Jakarta, Bandung, and Batam. Application of this technology has more challenging issues than landfill gas based renewable energy. The issues include financial, legal institutional and social. No facility of WtE with this technology is in place in Indonesia.